Ketika remaja dulu, saya termasuk yang tidak
menyukai film perang dan horor. Dua jenis film yang membuat saya mempertanyakan,
kenapa seseorang perlu menontonnya. Saya kira, tujuan kita menonton film adalah
untuk menghibur diri, bukan meneror diri sendiri dengan kekejaman perang dan
hantu-hantu yang tidak berperikemanusiaan. Tetapi itu kan dulu, sekarang saya
sudah lebih terbuka menerima kenyataan bahwa film adalah salah satu media yang
efektif—menyenangkan—untuk mempelajari sejarah. Apalagi tersirat pesan
kemanusiaan yang sangat kuat di film-film seperti itu. Nah, khusus untuk film
horor, saya harus jujur bahwa saya masih seperti dulu. Cukup sudah masa-masa
kelam saya melalui malam-malam berat ketika kesulitan tidur dan takut gelap dan
tak berani ke kamar mandi karena menonton The Ring, misalnya.
Sebelumnya, bukan sebelum benar, saya sudah
menonton “The Pianist”. Saya menontonnya karena ia memenangi Palme d’Or. Ya,
tipikal penonton yang membosankan, yang menonton film hanya karena ia menang
ini atau itu. Tapi begitulah kamu memperlakukan sesuatu yang tidak kamu gemari
bukan? Haha. Dia harus begini dan begitu dulu baru mau diikuti, yang artinya,
bukan dari hati. Dia harus baik, bisa ini-itu dan selera berpakaiannya oke
dulu, baru mau dijadikan pujaan hati (What!
Mulai melenceng kau!). Tapi pada intinya, tidak ada yang sia-sia, dan karena
memaksakan diri memulainya itulah kemudian saya mulai tertarik dengan film
perang. Saya penasaran dengan sebab dan akibat dari perang tersebut, dan
bagaimana orang-orang pada masa itu berjuang mempertahankan bangsa atau sekadar
nyawa mereka sendiri. Itu alasan sekunder, alasan primernya, “The Pianist” itu
film yang bagus. Coba kalau ia tidak bagus, mungkin sampai zaman kuda lumping
baru saya akan menonton film perang lagi.
Mulai dari judulnya saja, kamu mungkin sudah
bisa mengira tentang apa film ini. Yup, tentang daftar yang ditulis Schindler.
Daftar apa? Itulah yang perlu kamu ketahui dengan menontonnya.
Film ini diambil dengan menggunakan filter
hitam-putih yang membuatnya terasa seperti film dokumenter. Pada awal film,
dimunculkan beberapa paragraf naratif yang menjelaskan apa yang sedang terjadi
dan kapan terjadinya. Itu teknik yang oke untuk membuat penonton ngeh. Membuat mereka terlibat dengan
film sejak awal. Maksudku, ini film sejarah, Bung! Terlalu sedikit orang yang melek sejarah di dunia ini
(termasuk saya XD), dan karena itu sang sutradara perlu menampilkannya dengan
serunut mungkin. Film sejarah bukan seperti film drama yang bisa dengan mudah
kamu nalarkan sendiri apa maunya dan kenapa ia bermula begini atau begitu. Kita
tak perlu berwawasan luas untuk memahami drama. Mungkin karena itu pula film
drama yang paling-mudah laku, hingga kemudian semua genre film pun dipaksakan
supaya dramatis.
Ada beberapa hal yang akan saya singgung di
sini, yang menurut saya menarik saja. Kalau semuanya, maka tulisan ini akan
sangat panjang. Artinya, saya akan berpegang teguh pada hukum review film internasional untuk tidak
menghasilkan spoiler.
Pertama, tokoh Oskar Schindler sendiri. Pada
saat saya melihatnya, rasanya sangat familiar. Selain itu, dan ini yang lebih
keren, Steven Spielberg (yang bekerjasama dengan sinematografi-nya; tentu saja)
memunculkan tokoh ini dengan sangat keren. Mirip-mirip James Bond, tapi ini
lebih keren. Kamu akan disajikan perilaku Schindler yang sedang menyiapkan diri
sebelum pergi ke pesta para petinggi Nazi. Tetapi bedanya, wajah Schindler
sendiri tidak nampak, kamu akan melihat ia menuang minuman, memilih pakaian,
mengenakan dasi, menyisip sapu tangan ke kantung depan jasnya, menyiapkan uang
dengan teliti, jam tangan, sampai mengenakan pin Nazi ke pakaiannya. Semua itu
berlangsung dengan background musik—biola dan piano—yang enak didengar (saya
gak ngerti musik; gak tahu itu irama apaan, hehe). Kemudian ia berjalan masuk
ke ruangan (musik masih jalan dan begitu pula wajahnya yang belum ditampakkan)
dengan tenang dan percaya diri. Ia menemui penjaga dan memberinya uang,
kemudian diantar ke meja kosong. Ketika ia duduk, wajah Schindler pun
ditampakkan dan dengan ekspresi sedikit tersenyum ala “James Bond”. Ia pun langsung
memperhatikan semua hal di dalam ruangan itu: tentara Nazi, bangsawan,
perempuan cantik (tentu saja!), hiburan di sana, hingga meja kosong di depan
yang nampaknya diperuntukkan untuk tamu utama. Bukan hanya memperhatikan,
Schindler kemudian mengambil langkah pendekatan yang elegan dengan para tentara
Nazi yang menurutnya mudah didekati. Kemampuan persuasifnya itu bukan hanya
membuatnya menarik tetapi dengan segera membuat orang penasaran dan kagum
dengan sosok yang baru mereka temui itu. Pada intinya, kamu akan tahu bahwa
Schindler adalah seorang pembaca pikiran yang profesional sekaligus penipu
ulung yang super keren. Ia bukanlah siapa-siapa dan tak punya kenalan di sana,
tetapi ia tahu bagaimana cara membuat dirinya menjadi pusat perhatian dan semua
langkahnya sudah ia perhitungkan dengan matang. Saya bisa menonton pemunculan
tokoh utama itu berkali-kali dan terus menerus terkagum-kagum olehnya. Dan pada
akhirnya saya sadar bahwa ia (tokoh Schindler) adalah yang mulia Ra’s al Ghul
(Batman Begins—Christopher Nolan). Astaga, pantas saja hamba merasa kenal :D...
Kedua, pengembangan tokoh. Saya tidak mau sok
mengatakan bahwa pengembangan karakter di dalam cerita itu sangatlah penting,
tetapi paling tidak ia membuat cerita di dalam film itu terasa lebih “hidup”.
Lebih manusiawi, dan karena itu, terasa nyata. Kamu akan merasakan sesuatu yang
berbeda ketika menonton film yang beberapa tokoh di dalamnya mengalami
“pengembangan”. Bandingkan dengan film superhero, apa yang kamu dapatkan? Kalau
saya sih, seru-seruan doank. Saya jadi tahu sebab-akibat kenapa ia jahat dan
bagaimana ia kemudian mempunyai kemampuan super. Si jahat ini akan kalah pada
akhirnnya. Kemudian penonton disajikan sebuah “misteri” baru demi menciptakan
rasa penasaran, “Ou, artinya akan ada lanjutannya, Bro!”. Iya asyik-asyik saja
sih. Hal itu bisa memuaskan keinginan dari kepribadian kanak-kanak yang
selamanya akan ada di dalam jiwa-jiwa yang ceria dan penuh imajinasi seperti
aku dan kamu, kecuali kamu tiba-tiba mengalami kejadian traumatis atau
terserang sakit hati karena dikhianati.
Intinya, gejolak emosi para tokoh di dalamnya
inilah yang mampu membuatmu terseret ke dalam cerita. Membuatmu merasakan apa
yang terjadi dan ikut menderita karenanya. Membuat jantungmu berdebar lebih
cepat dan untuk sesaat, kamu lupa bahwa kamu sedang menonton film. Schindler
adalah seorang pebisnis yang andal, dan karena itu, ia juga seorang yang licik yang
mampu melakukan apa pun untuk mendulang untung sebesar-besarnya. Lalu bagaimana
mungkin orang seperti itu kemudian bisa berubah menjadi malaikat penyelamat
bagi ribuan orang Yahudi-Polandia yang sudah pasti akan dibantai oleh Nazi.
Disitulah letak pentingnya kemampuan menulis skrip—pada bagian pengembangan
karakter. Jika seorang penulis cerita tidak punya kecermatan membaca perilaku
dan psikologis manusia, maka proses pengembangan karakter itu akan terasa
dipaksakan. Tak masuk akal, tak ubahnya sinetron. Maka seorang penulis mestilah
mereka yang sangat peka sekaligus rasional sehingga bisa menceritakan perubahan
karakter tokoh, tetapi tetap berterima oleh penonton. Indikasinya sederhana,
jika “Si Penonton Kritis” ini tidak sempat mempertanyakan “pengembangan
karakter” yang terjadi—sebab terlanjur larut saat menonton, maka si penulis ini
telah berhasil.
Ketiga, pokok pikiran dalam cerita. Seperti
yang sudah saya ditulis di atas, bahwa film ini bercerita tentang seorang
pebisnis bernama Schindler yang membuat daftar nama orang-orang Yahudi-Polandia
untuk diajukan kepada tentara Nazi. Untuk apa? Untuk dijadikan pekerja di
pabrik logam yang ia bangun, yang pada awalnya merupakan ladang uang baginya.
Dengan kemampuan interpersonal yang yahud inilah ia membangun bisnisnya. Menjadikan
dirinya orang penting di kalangan tentara Nazi, mendapatkan izin usaha, sekaligus
demi menyelamatkan nyawa banyak orang Yahudi. Kamutahu, tentara Nazi ini begitu
bencinya dengan Yahudi dan mereka bisa memusnahkan etnis ini tanpa keraguan
sedikit pun. Diketahui melalui cerita yang berkembang, seorang Kapten Tentara
SS (Schutzstaffel; organisasi militer yang di bawahi oleh Adolf Hitler) dan
sekaligus Komandan di Kamp-Plaszow (tempat penampungan Yahudi setelah dibantai
di Ghetto), Amon Goth, bahkan tidak akan memulai sarapannya sebelum membunuh
paling tidak satu orang Yahudi di Plaszow. Ia melakukannya setiap hari dari
villanya di lantai dua, yang menghadap langsung ke area kamp Yahudi. Dengan menggunakan
riffle, ia mengeker semua pekerja Yahudi di bawah sana dan menembaki mereka
yang menurutnya tidak efektif bekerja. Itu cuma sebagian kecil, tentara SS juga
bisa menembak di tempat setiap warga Yahudi yang menarik perhatian.
Besar kemungkinan darisanalah hati nurani
Schindler terketuk, tetapi ia tidak begitu saja memutuskan perbuatannya. Ia juga
mengalami masa-masa gamang dan bergulat dengan dirinya sendiri, sampai kemudian
ia mendapatkan keyakinannya. Bagaimana tidak, meskipun itu keputusan mulia, tetapi
ia juga harus menyadari bahwa ia akan mengorbankan semua yang sudah ia bangun
dengan susah payah. Hartanya, usahanya, nama baik dan nyawanya sendiri, karena
ia pun akan dihukum sebagai pengkhianat jika apa yang ia lakukan itu diketahui
oleh tentara Jerman.
Semua hartanya kemudian ia habiskan untuk
menyuap tentara Jerman, membiayai hidup ratusan (atau bahkan ribuan) Yahudi
yang tinggal di pabriknya dan membikin usaha olah-logam fiktif. Yang terakhir
sangat menguras uangnya, karena ia harus menyediakan peralatan dan bahan logam
di pabriknya, yang sebenarnya tidak berproduksi sama sekali. Dan karena itu ia
harus membeli sendiri hasil produksi dari perusahaan lain dan menjualnya kepada
tentara Jerman dengan harga murah. Kurang lebih tujuh bulan ia menutupi
kebohongan itu dengan mempertaruhkan harta dan nyawanya sendiri. Hingga perang pun
usai ketika tentara Jerman berhasil dijatuhkan. Nahasnya lagi, ia tidak punya
peluang untuk “membersihkan” namanya karena ia sendiri merupakan bagian dari
Nazi. Jadi, setelah ia menghabiskan semua hartanya demi Yahudi, ia pun mesti
melarikan diri dari sana sebagai buronan perang.
Sebenarnya masih banyak hal-hal hebat di film
ini yang menarik dibahas, tetapi saya ingin menyimpannya untuk saya sendiri,
apalagi mengingat kelihaian saya dalam urusan melantur ke mana-mana saat
menulis. Tak ada habisnya kalau ia dituliskan semua dan adalah tugas penonton
masing-masing untuk menikmatinya di kala senggang. Revew ini hanyalah sebagian
kecil dari apresiasi yang perlu kita berikan untuk film ini.
Salut untuk Steven Spielberg yang sudah mengangkat
cerita Oskar Schindler ini ke layar lebar—sebelumnya ia sudah lebih dulu terbit
sebagai novel. Oskar Schindler adalah kisah nyata yang menjadi salah satu
catatan sejarah kemanusiaan paling penting. Hitungan jumlah orang Yahudi yang
diselamatkan Schindler sendiri ada beragam sesuai dari sumbernya, tapi paling
tidak, ada 1200-an orang Yahudi yang ia selamatkan melalui daftar yang ia tulis
bersama-sama dengan rekan bisnisnya yang juga orang Yahudi, Itzhak Stern. Sampai
saat ini para Yahudi yang diselamatkan Schindler masih ada dan membangun
peradabannya sendiri. Mereka-mereka ini dikenal dunia sebagai Yahudi-Schindler
atau Schindler’s Jews.
Rating: 9,5/10