One Day in Kuta

One Day in Kuta

Diet, Zodiak, dan Bagaimana Cara Mempengaruhi Orang lain



Saya tidak percaya pada ramalan bintang, baik itu versi Yunani atau China atau versi yang bersumber dari planet Mars sekalipun. Jadi, adalah tidak mungkin kamu bisa mengetahui nasib dan kecenderungan seseorang hanya berdasarkan pada tanggal lahir mereka. Itu tidak logis. Tentu saja. Meskipun begitu, saya tidak bohong juga kalau dulunya saya percaya pada hal begituan. Dulu saya masih lugu dan polos seperti halnya pantat bayi dan kini, setelah dewasa, saya sudah kasar dan berceruk-ceruk seperti aspal yang menjadi buruk setelah dihantam musim hujan dan kemarau yang ekstrim. Begitulah, bagaimana kamu tiba-tiba menjadi dewasa dan membosankan.
Pada suatu kesempatan saya menonton Spot Lite (entah apa saya menyebut judulnya dengan benar atau tidak) di Trans TV dan saat itu sedang diinformasikan tentang tipe-tipe diet yang cocok untuk setiap orang berdasarkan zodiaknya masing-masing. Whut? Itu reaksi saya pertama kali. Tetapi karena saya penasaran dan memang menyukai hal-hal yang berkaitan dengan diet, maka saya pun menontonnya. Dan seperti yang saya bayangkan, informasi yang disajikan pun benar-benar membosankan tak ubahnya seperti menonton semua acara yang dibawakan Uya Kuya. Misalnya, di sana disebutkanlah bagaimana karakter seorang Cancer, apa yang disukainya, karakter tubuhnya, dan diet seperti apa yang cocok untuk mereka. Saya berhenti sebentar karena teringat sesuatu: sebuah cerita yang pernah saya dengar entah dari mana, tentang peramal abal-abal dan remaja alai yang menggunakan jasanya. Sambil “membaca” telapak tangan si alai, sang peramal pun berkata, “kamu orang yang menyenangkan, riang, hanya saja kamu sering merasa kesepian di dalam keramaian.” Kemudian si remaja alai mulai terharu dan menitikkan airmata seolah baru mendengarkan wahyu Tuhan yang pertama. Hei! Semua orang juga merasakan hal itu, paling tidak sekali, tanpa kecuali, itu seperti kamu mengatakan kalau pada siang hari kamu akan merasa lapar jika kamu lupa sarapan.

Lalu dijelaskanlah satu per satu tentang diet yang cocok untuk tiap orang berdasarkan zodiaknya tersebut. Dan saya bersetuju dengan semua nasihat diet untuk setiap zodiak. Semuanya baik dan akan efektif jika dilakukan dengan serius. Tak ada hubungannya dengan zodiak, sama sekali, seorang Virgo akan cocok melakukan diet Taurus atau Libra atau Gemini, dan sebaliknya. Yang lucu, mereka mengatakan kalau Sagitarius adalah tipe orang yang bagus melakukan sesuatu jika ia membuat target yang jelas terlebih dahulu. Ok, pasti kamu mendapat kesimpulan itu mentang-mentang si Sagitarius membawa panah kan? *rolling eyes*



Tetapi, saya tidak bisa memungkiri, bahwa hal ini bisa jadi bermanfaat jika dibaca oleh orang-orang yang pikirannya sebening air mineral, tentu tidak pas untuk saya. Sebelumnya mereka mengatakan tentang zodiak, dan zodiak itu seolah mewakili setiap orang yang menonton. Meskipun tidak percaya, atau sekadar tidak tertarik, orang-orang tetap saja akan menunggu hingga penjelasan tentang zodiaknya sendiri disebutkan. Kupikir, hal ini semacam tanda-tanda kecil bahwa seseorang selalu haus untuk mencari tahu tentang dirinya sendiri. Sayangnya, mereka terkadang lebih memercayai zodiak—yang adalah buatan manusia itu—ketimbang pemikirannya sendiri. Dan rasa percaya itu kemudian memunculkan keyakinan, yang berakhir pada sugesti. Misalnya, pada sebuah ramalan zodiak dikatakan bahwa pada minggu tersebut kamu akan mengalami gangguan tenggorokan, maka bisa jadi, setelahnya kamu mulai merasa gatal-gatal di tenggorokanmu meskipun sebelumnya kau begitu sehat wal afiat. Bagusnya, kalau ramalan itu baik, misalnya dikatakan bahwa pada minggu itu kamu akan mendapatkan rezeki banyak atau berhasil memikat seseorang yang sudah kamu impi-impikan sejak sepuluh tahun lalu. Dan ia pun berubah menjadi sugesti, sehingga kamu menjadi mau mengambil peluang yang ada atau mulai berani mengirimkan surat-surat cintamu—yang sudah terpinggirkan dan tersisih—yang sudah terbenam lama di lacimu.

Saya ingin mengatakan, bahwa bukan zodiaknyalah yang menjadi issue utama, tetapi keyakinanmu sendiri. Kalau kamu yakin pada sesuatu maka sesuatu itu akan nampak nyata di matamu. Nahasnya, keyakinan adalah sesuatu yang berbahaya jika tidak disertai dengan pengetahuan yang cukup dan relevan. Banyak betul contoh yang bisa kamu temukan dalam kehidupan sehari-hari tentang hal ini. Mulai dari bagaimana seseorang ditipu oleh makelar MLM, dikendalikan oleh para provokator atas nama suku dan agama, hingga sekadar terbuai oleh akun palsu yang menampilkan foto-foto polisi tampan—yang secara ajaibnya—mencari kekasih lewat FB. Dan hal itu menjadi luar biasa gilanya ketika seseorang kemudian mempunyai keyakinan yang terlalu besar pada seseorang (atau sesuatu) hingga mereka tak peduli pada kenyataan yang ada, bahwa keyakinannya salah, malah berusaha mencari-cari celah untuk membela meskipun menggunakan cara-cara yang (juga) salah, seperti memfitnah dan menyebarkan berita palsu.

Menurut saya, kita harus menghindari bentuk penghakiman apa pun yang ditujukan oleh seseorang pada diri kita. Tak ubahnya zodiak yang mengatakan bahwa kamu adalah Libra atau Leo atau Sagitarius. Terima saja hal itu sebagai tempelan yang mudah kamu lepaskan, karena dengan begitu, kamu tidak akan merasa tersulut ketika mereka menuntutmu untuk melakukan ini dan itu. Semua keputusanmu mestilah berdasarkan pada pemikiran yang matang dan pengetahuan yang luas. Jangan mau jadi boneka yang dipermainkan oleh orang lain yang mengotak-kotakkanmu ke dalam ruang-ruang tertentu (suku, agama, aliran, dll). Jangan mau dipermainkan oleh mereka: para penjual keyakinan.




Kautahu, musuh besar dari kebenaran bukanlah kebohongan, tetapi keyakinan yang membabi buta.

Blank Paper or Blank Mind


Masalah yang cukup mengganggu para penulis adalah ketika mereka gagal menemukan ide bagus untuk ditulis. Mereka berangkat dengan keyakinan penuh bahwa sepanjang dua-tiga jam ke depan mereka akan menuntaskan sebuah tulisan yang dahsyat, dan mereka berakhir dengan merenungi komputer selama lima belas menit kemudian pergi mencari hiburan atas mumet yang tercipta di kepala. Pada suatu pagi, mereka bisa saja sudah meniatkan diri dengan penuh seluruh untuk menulis. Mereka sudah mandi dan menyalakan komputer dan menghiasi sekeliling “area menulis” menjadi tempat yang nyaman. Pewangi ruangan sudah disemprot selayaknya ketiak yang juga perlu wangi. Tetapi yang terjadi kemudian adalah mereka tidak tahu apa yang mesti ditulis.

Kadang-kadang begitu, para penulis adalah orang-orang yang terlalu percaya diri. Mereka pernah menyelesaikan sebuah tulisan bagus di masa lalu dan hal itu membuatnya terlena, bahwa mereka bisa menuliskan hal yang bagus lagi dan lagi di masa depan. Mereka mulai menganggap bahwa ide adalah sesuatu yang bersifat spontan dan ia akan muncul dengan sendirinya seiring dengan tersentuhnya jemari mereka ke tuts keyboard. Dan begitulah bagaimana mereka dipermainkan oleh pikiran sendiri. Padahal, jika kamu bukan penulis, atau mencoba memposisikan diri di luar kotak, kamu akan menyadari bahwa untuk menulis kamu harus paham lebih dulu tentang apa yang ingin kamu sampaikan.



Tulisan-tulisanmu yang sebelumnya juga sudah melalui masa-masa begitu. Memang ada yang bisa kamu tulis dalam waktu singkat dan yang lainnya butuh beberapa jam bahkan beberapa hari bahkan bulan. Kenapa bisa demikian? Karena tingkat pemahamanmu ketika merangkai masing-masing tulisan tersebut berbeda-beda. Sesuatu yang cepat kamu selesaikan biasanya bertemakan hal-hal yang dekat dengan keseharianmu atau yang pernah kamu pahami dari buku, televisi, atau sekedar komentar-komentar di facebook.

Ada momen ketika “percikan api” berlompatan di kepalamu setelah kamu mempelajari sesuatu, atau sekadar terlibat dalam sebuah perbincangan yang menarik. Itu yang dinamakan inspirasi untuk menulis. Saya pernah—dan saya yakin kamu juga demikian—menyelesaikan dua tulisan yang cukup panjang dalam waktu dua jam saja, atau kurang dari itu. Salah satunya terjadi pada masa awal-awal saya belajar menulis dan yang saya tulis adalah sesuatu yang dekat dengan saya dan yang selama ini sering saya renungkan, dan yang lainnya terjadi beberapa bulan yang lalu, yaitu sebuah resensi buku dari seorang penulis yang namanya baru naik di pasaran. Setelah saya renungkan lagi, tulisan tentang resensi itu menjadi begitu cepat saya selesaikan karena tipe menulisnya adalah tipe yang selama ini sering saya kritisi. Jadi, kembali lagi ke awal, saya menulis cepat karena saya tahu betul apa yang menggangu benak saya tentang tema tersebut. Saya pernah mengalaminya langsung atau secara mental tentang hal itu.

Sama seperti bicara, kamu akan lancar ketika menyampaikan hal-hal yang kamu pahami saja, sementara kamu bisa tergagap jika diminta untuk menjelaskan sesuatu yang kamu tidak mengerti. Akhirnya kamu hanya menyampaikan hal-hal normatif yang berada di permukaan saja, dan kamu tahu, mereka yang mendengarkan tidak tertarik dengan jabaranmu selayaknya dirimu sendiri. Itu menjadi sebuah jawaban, kenapa seseorang bisa lebih lancar menuliskan diary ketimbang mengarang cerita. Karena ketika menulis diary mereka hanya perlu menjadi diri sendiri.

Saya pernah memberi instruksi begini kepada teman-teman di kelas menulis: “Silakan tuliskan hal-hal yang baru-baru ini menarik perhatianmu. Bisa itu pengalamanmu, pengalaman orang lain, atau sebuah pemikiran yang kamu dapatkan dari bacaan atau televisi. Apapun itu.” Dan hasilnya sangat efektif, semua peserta bisa menulis dengan cepat, bahkan mereka yang selama ini tidak pernah bisa menulis sedikit pun ketika diberi tugas, kini bisa menyelesaikannya. Kelebihannya yang lain, saya mendapatkan tema-tema yang autentik di sana: ada yang menulis tentang ibu yang membangunkan mereka tadi pagi, ada yang menyampaikan selamat ulang tahun kepada teman peserta menulis yang lain, dan ada yang bercerita tentang kucingnya yang baru beranak.

See, menulis itu menjadi gampang betul ketika kita tidak terbebani untuk menciptakan tulisan-tulisan yang bagus, cukup menuliskan apa yang kita pikirkan saja. Kertas kosong bukanlah masalah, tetapi pikiran yang kosonglah yang menjadi masalahnya. Dan saya yakin, dengan didukung oleh kelima indera, kenangan dan seperangkat otak untuk menganalisa segala sesuatu, kamu punya stok pemikiran yang tidak terbatas. Paham adalah kata kuncinya dan indikatornya adalah ketika muncul sebuah inspirasi di benakmu tentang hal itu, tentang apa yang ingin kamu tulis. Apa-apa sajakah ia? Kamu bisa menulis daftar ide dan pelengkap idemu jika kamu bukan termasuk di antara para penulis yang menghambakan pertuah “menulis sajalah” sebagai pedoman hidup.



Lalu, kalau tidak bagus bagaimana? Itu urusan lain lagi. Jika kamu punya skill mumpuni—yang bisa kamu peroleh dengan tekun belajar ditambah pengalaman, maka kamu bisa melakukan editing sendiri terhadapnya. Kalaupun tidak, hal itu tidak akan menghambatmu jika kamu ingin punya buku, ada orang-orang yang dijuluki sebagai editor yang akan membantumu mengemasnya.

Yang penting sekarang, kamu bisa menyelesaikan tulisanmu.


Schindler’s List: Daftar Nama untuk Malaikat


Ketika remaja dulu, saya termasuk yang tidak menyukai film perang dan horor. Dua jenis film yang membuat saya mempertanyakan, kenapa seseorang perlu menontonnya. Saya kira, tujuan kita menonton film adalah untuk menghibur diri, bukan meneror diri sendiri dengan kekejaman perang dan hantu-hantu yang tidak berperikemanusiaan. Tetapi itu kan dulu, sekarang saya sudah lebih terbuka menerima kenyataan bahwa film adalah salah satu media yang efektif—menyenangkan—untuk mempelajari sejarah. Apalagi tersirat pesan kemanusiaan yang sangat kuat di film-film seperti itu. Nah, khusus untuk film horor, saya harus jujur bahwa saya masih seperti dulu. Cukup sudah masa-masa kelam saya melalui malam-malam berat ketika kesulitan tidur dan takut gelap dan tak berani ke kamar mandi karena menonton The Ring, misalnya.

Sebelumnya, bukan sebelum benar, saya sudah menonton “The Pianist”. Saya menontonnya karena ia memenangi Palme d’Or. Ya, tipikal penonton yang membosankan, yang menonton film hanya karena ia menang ini atau itu. Tapi begitulah kamu memperlakukan sesuatu yang tidak kamu gemari bukan? Haha. Dia harus begini dan begitu dulu baru mau diikuti, yang artinya, bukan dari hati. Dia harus baik, bisa ini-itu dan selera berpakaiannya oke dulu, baru mau dijadikan pujaan hati (What! Mulai melenceng kau!). Tapi pada intinya, tidak ada yang sia-sia, dan karena memaksakan diri memulainya itulah kemudian saya mulai tertarik dengan film perang. Saya penasaran dengan sebab dan akibat dari perang tersebut, dan bagaimana orang-orang pada masa itu berjuang mempertahankan bangsa atau sekadar nyawa mereka sendiri. Itu alasan sekunder, alasan primernya, “The Pianist” itu film yang bagus. Coba kalau ia tidak bagus, mungkin sampai zaman kuda lumping baru saya akan menonton film perang lagi.



Mulai dari judulnya saja, kamu mungkin sudah bisa mengira tentang apa film ini. Yup, tentang daftar yang ditulis Schindler. Daftar apa? Itulah yang perlu kamu ketahui dengan menontonnya.
Film ini diambil dengan menggunakan filter hitam-putih yang membuatnya terasa seperti film dokumenter. Pada awal film, dimunculkan beberapa paragraf naratif yang menjelaskan apa yang sedang terjadi dan kapan terjadinya. Itu teknik yang oke untuk membuat penonton ngeh. Membuat mereka terlibat dengan film sejak awal. Maksudku, ini film sejarah, Bung! Terlalu sedikit orang yang melek sejarah di dunia ini (termasuk saya XD), dan karena itu sang sutradara perlu menampilkannya dengan serunut mungkin. Film sejarah bukan seperti film drama yang bisa dengan mudah kamu nalarkan sendiri apa maunya dan kenapa ia bermula begini atau begitu. Kita tak perlu berwawasan luas untuk memahami drama. Mungkin karena itu pula film drama yang paling-mudah laku, hingga kemudian semua genre film pun dipaksakan supaya dramatis.

Ada beberapa hal yang akan saya singgung di sini, yang menurut saya menarik saja. Kalau semuanya, maka tulisan ini akan sangat panjang. Artinya, saya akan berpegang teguh pada hukum review film internasional untuk tidak menghasilkan spoiler.

Pertama, tokoh Oskar Schindler sendiri. Pada saat saya melihatnya, rasanya sangat familiar. Selain itu, dan ini yang lebih keren, Steven Spielberg (yang bekerjasama dengan sinematografi-nya; tentu saja) memunculkan tokoh ini dengan sangat keren. Mirip-mirip James Bond, tapi ini lebih keren. Kamu akan disajikan perilaku Schindler yang sedang menyiapkan diri sebelum pergi ke pesta para petinggi Nazi. Tetapi bedanya, wajah Schindler sendiri tidak nampak, kamu akan melihat ia menuang minuman, memilih pakaian, mengenakan dasi, menyisip sapu tangan ke kantung depan jasnya, menyiapkan uang dengan teliti, jam tangan, sampai mengenakan pin Nazi ke pakaiannya. Semua itu berlangsung dengan background musik—biola dan piano—yang enak didengar (saya gak ngerti musik; gak tahu itu irama apaan, hehe). Kemudian ia berjalan masuk ke ruangan (musik masih jalan dan begitu pula wajahnya yang belum ditampakkan) dengan tenang dan percaya diri. Ia menemui penjaga dan memberinya uang, kemudian diantar ke meja kosong. Ketika ia duduk, wajah Schindler pun ditampakkan dan dengan ekspresi sedikit tersenyum ala “James Bond”. Ia pun langsung memperhatikan semua hal di dalam ruangan itu: tentara Nazi, bangsawan, perempuan cantik (tentu saja!), hiburan di sana, hingga meja kosong di depan yang nampaknya diperuntukkan untuk tamu utama. Bukan hanya memperhatikan, Schindler kemudian mengambil langkah pendekatan yang elegan dengan para tentara Nazi yang menurutnya mudah didekati. Kemampuan persuasifnya itu bukan hanya membuatnya menarik tetapi dengan segera membuat orang penasaran dan kagum dengan sosok yang baru mereka temui itu. Pada intinya, kamu akan tahu bahwa Schindler adalah seorang pembaca pikiran yang profesional sekaligus penipu ulung yang super keren. Ia bukanlah siapa-siapa dan tak punya kenalan di sana, tetapi ia tahu bagaimana cara membuat dirinya menjadi pusat perhatian dan semua langkahnya sudah ia perhitungkan dengan matang. Saya bisa menonton pemunculan tokoh utama itu berkali-kali dan terus menerus terkagum-kagum olehnya. Dan pada akhirnya saya sadar bahwa ia (tokoh Schindler) adalah yang mulia Ra’s al Ghul (Batman Begins—Christopher Nolan). Astaga, pantas saja hamba merasa kenal :D...

Kedua, pengembangan tokoh. Saya tidak mau sok mengatakan bahwa pengembangan karakter di dalam cerita itu sangatlah penting, tetapi paling tidak ia membuat cerita di dalam film itu terasa lebih “hidup”. Lebih manusiawi, dan karena itu, terasa nyata. Kamu akan merasakan sesuatu yang berbeda ketika menonton film yang beberapa tokoh di dalamnya mengalami “pengembangan”. Bandingkan dengan film superhero, apa yang kamu dapatkan? Kalau saya sih, seru-seruan doank. Saya jadi tahu sebab-akibat kenapa ia jahat dan bagaimana ia kemudian mempunyai kemampuan super. Si jahat ini akan kalah pada akhirnnya. Kemudian penonton disajikan sebuah “misteri” baru demi menciptakan rasa penasaran, “Ou, artinya akan ada lanjutannya, Bro!”. Iya asyik-asyik saja sih. Hal itu bisa memuaskan keinginan dari kepribadian kanak-kanak yang selamanya akan ada di dalam jiwa-jiwa yang ceria dan penuh imajinasi seperti aku dan kamu, kecuali kamu tiba-tiba mengalami kejadian traumatis atau terserang sakit hati karena dikhianati.

Intinya, gejolak emosi para tokoh di dalamnya inilah yang mampu membuatmu terseret ke dalam cerita. Membuatmu merasakan apa yang terjadi dan ikut menderita karenanya. Membuat jantungmu berdebar lebih cepat dan untuk sesaat, kamu lupa bahwa kamu sedang menonton film. Schindler adalah seorang pebisnis yang andal, dan karena itu, ia juga seorang yang licik yang mampu melakukan apa pun untuk mendulang untung sebesar-besarnya. Lalu bagaimana mungkin orang seperti itu kemudian bisa berubah menjadi malaikat penyelamat bagi ribuan orang Yahudi-Polandia yang sudah pasti akan dibantai oleh Nazi. Disitulah letak pentingnya kemampuan menulis skrip—pada bagian pengembangan karakter. Jika seorang penulis cerita tidak punya kecermatan membaca perilaku dan psikologis manusia, maka proses pengembangan karakter itu akan terasa dipaksakan. Tak masuk akal, tak ubahnya sinetron. Maka seorang penulis mestilah mereka yang sangat peka sekaligus rasional sehingga bisa menceritakan perubahan karakter tokoh, tetapi tetap berterima oleh penonton. Indikasinya sederhana, jika “Si Penonton Kritis” ini tidak sempat mempertanyakan “pengembangan karakter” yang terjadi—sebab terlanjur larut saat menonton, maka si penulis ini telah berhasil.
Ketiga, pokok pikiran dalam cerita. Seperti yang sudah saya ditulis di atas, bahwa film ini bercerita tentang seorang pebisnis bernama Schindler yang membuat daftar nama orang-orang Yahudi-Polandia untuk diajukan kepada tentara Nazi. Untuk apa? Untuk dijadikan pekerja di pabrik logam yang ia bangun, yang pada awalnya merupakan ladang uang baginya. Dengan kemampuan interpersonal yang yahud inilah ia membangun bisnisnya. Menjadikan dirinya orang penting di kalangan tentara Nazi, mendapatkan izin usaha, sekaligus demi menyelamatkan nyawa banyak orang Yahudi. Kamutahu, tentara Nazi ini begitu bencinya dengan Yahudi dan mereka bisa memusnahkan etnis ini tanpa keraguan sedikit pun. Diketahui melalui cerita yang berkembang, seorang Kapten Tentara SS (Schutzstaffel; organisasi militer yang di bawahi oleh Adolf Hitler) dan sekaligus Komandan di Kamp-Plaszow (tempat penampungan Yahudi setelah dibantai di Ghetto), Amon Goth, bahkan tidak akan memulai sarapannya sebelum membunuh paling tidak satu orang Yahudi di Plaszow. Ia melakukannya setiap hari dari villanya di lantai dua, yang menghadap langsung ke area kamp Yahudi. Dengan menggunakan riffle, ia mengeker semua pekerja Yahudi di bawah sana dan menembaki mereka yang menurutnya tidak efektif bekerja. Itu cuma sebagian kecil, tentara SS juga bisa menembak di tempat setiap warga Yahudi yang menarik perhatian.



Besar kemungkinan darisanalah hati nurani Schindler terketuk, tetapi ia tidak begitu saja memutuskan perbuatannya. Ia juga mengalami masa-masa gamang dan bergulat dengan dirinya sendiri, sampai kemudian ia mendapatkan keyakinannya. Bagaimana tidak, meskipun itu keputusan mulia, tetapi ia juga harus menyadari bahwa ia akan mengorbankan semua yang sudah ia bangun dengan susah payah. Hartanya, usahanya, nama baik dan nyawanya sendiri, karena ia pun akan dihukum sebagai pengkhianat jika apa yang ia lakukan itu diketahui oleh tentara Jerman.

Semua hartanya kemudian ia habiskan untuk menyuap tentara Jerman, membiayai hidup ratusan (atau bahkan ribuan) Yahudi yang tinggal di pabriknya dan membikin usaha olah-logam fiktif. Yang terakhir sangat menguras uangnya, karena ia harus menyediakan peralatan dan bahan logam di pabriknya, yang sebenarnya tidak berproduksi sama sekali. Dan karena itu ia harus membeli sendiri hasil produksi dari perusahaan lain dan menjualnya kepada tentara Jerman dengan harga murah. Kurang lebih tujuh bulan ia menutupi kebohongan itu dengan mempertaruhkan harta dan nyawanya sendiri. Hingga perang pun usai ketika tentara Jerman berhasil dijatuhkan. Nahasnya lagi, ia tidak punya peluang untuk “membersihkan” namanya karena ia sendiri merupakan bagian dari Nazi. Jadi, setelah ia menghabiskan semua hartanya demi Yahudi, ia pun mesti melarikan diri dari sana sebagai buronan perang.

Sebenarnya masih banyak hal-hal hebat di film ini yang menarik dibahas, tetapi saya ingin menyimpannya untuk saya sendiri, apalagi mengingat kelihaian saya dalam urusan melantur ke mana-mana saat menulis. Tak ada habisnya kalau ia dituliskan semua dan adalah tugas penonton masing-masing untuk menikmatinya di kala senggang. Revew ini hanyalah sebagian kecil dari apresiasi yang perlu kita berikan untuk film ini.

Salut untuk Steven Spielberg yang sudah mengangkat cerita Oskar Schindler ini ke layar lebar—sebelumnya ia sudah lebih dulu terbit sebagai novel. Oskar Schindler adalah kisah nyata yang menjadi salah satu catatan sejarah kemanusiaan paling penting. Hitungan jumlah orang Yahudi yang diselamatkan Schindler sendiri ada beragam sesuai dari sumbernya, tapi paling tidak, ada 1200-an orang Yahudi yang ia selamatkan melalui daftar yang ia tulis bersama-sama dengan rekan bisnisnya yang juga orang Yahudi, Itzhak Stern. Sampai saat ini para Yahudi yang diselamatkan Schindler masih ada dan membangun peradabannya sendiri. Mereka-mereka ini dikenal dunia sebagai Yahudi-Schindler atau Schindler’s Jews.

Rating: 9,5/10






Ada Apa Dengan Cinta 2, dan Riri Riza yang Tidak Mau Repot



Jadi, akhirnya saya bisa juga menonton AADC2, dan saya pun merasa bodoh karena selama ini sudah termakan omongan orang-orang di forum perfilman di medsos yang mengatakan kalau film Indonesia sudah sulit (atau malah nyaris mustahil) ditemukan di internet. Itu kepercayaan yang sungguh bodoh selayaknya mempercayai bahwa kiamat akan tiba sebulan lagi hanya karena alasan-alasan sepele. Semalam saya iseng membuka Cinema Indo melalui google dan tak lama kemudian menemukan situs yang salah satu panelnya menyediakan film Indonesia. Tentu saja saya menyambut penemuan ini dengan riang gembira selayaknya penambang yang menemukan harta karun, dan tentu saja saya tidak lupa sekalian mengunduh Warkop DKI Reborn.


Sebelum menyampaikan hasil penontonan ini, saya ingin berbagi celoteh banyak orang yang telah lebih dulu menonton film ini. Kebanyakan mereka kecewa. Tidak sebagus ekspektasi, begitu kira-kira. Saya sempat percaya dengan pendapat tersebut, mengingat sutradara kali ini bukanlah Rudi Soejarwo melainkan Riri Riza. Dengan sutradara yang berbeda, maka besar kemungkinan “rasa” film ini yang sudah sangat kuat dan melekat dibenak pemuja AADC tidak akan terasa sama.


Tapi, bisa saja menjadi ebih baik? Nope.


Tidak mungkin, film ini sudah jadi, selayaknya rasa empek-empek Palembang yang tidak akan bisa lebih baik dari yang asli. Jika ada orang luar Palembang yang ingin membuatnya, maka ia harus mengikuti resep yang sudah ada. Mereka bisa saja menambah ini-itu sesuai selera, tetapi ia tidak akan senikmat yang asli. Selanjutnya, saya bukan penggemar film-film Riri Riza, terakhir yang saya tonton adalah Laskar Pelangi dan sampai sekarang saya tidak berniat menontonnya lagi.


Balik ke pendapat banyak orang itu, nampaknya saya harus bersetuju pada beberapa hal. Harus saya akui bahwa ada beberapa hal yang tidak mengesankan pada film ini dan ia berkaitan erat dengan cerita. Setelah sembilan tahun, adalah wajar jika banyak hal yang terjadi, namun sayangnya cerita-cerita yang terlewat itu terlalu dipaksakan untuk kepentingan drama. Yang dipaksakan itu antara lain adalah meninggalnya Alya karena kecelakaan, kemudian bahwa Milly menikah dengan Mamet dan Karmen yang ditinggal suaminya dan menjadi pemakai. Saya tahu hal semacam itu dibutuhkan untuk membuat jalan cerita menjadi menarik, tapi bagi penonton yang berselera, sungguh hal itu terlalu kentara sebagai upaya menghadir-hadirkan drama. Seperti para pembuat film yang takut jika filmnya terasa lompong karena tidak padat konflik. Begini, bila sesuatu itu ingin didramatisasi, maka jangan pernah berlebihan. Bila tidak mampu memenuhi syarat itu, maka biarkanlah ia terasa sewajar mungkin. Bukankah hidup memang begitu, biasa-biasa saja dan apa adanya. Hanya sedikit keajaiban yang terjadi selayaknya mereka yang tragis hidupnya. Hanya di sinetron kau akan menemukan pemeran utama lelaki yang tiba-tiba muncul entah darimana untuk menyelamatkan pemeran utama perempuan dari tindakan cabul. Saya menganggap film AADC sebagai salah satu yang terbaik di Indonesia dan saya menyukainya secara pribadi, karena itu saya peduli sekali supaya ia tidak jatuh menjadi murahan.


Selanjutnya, yang tak kalah garing, adalah kemunculan Cristian Sugiono sebagai suami Maura. Dammit Riri Riza, kau mau bikin film apa mau sekadar seru-seruan ngumpulin suami-istri ke dalam proyekmu! Keputusan yang norak betul. Kemudian ada Ario Bayu, aktor jangkung berkulit gelap ini adalah yang paling rajin menjadi pemeran pembantu dalam film. Pertama kali saya melihatnya sebagai pemeran pembantu ketika ia menjadi Lintang dewasa di Laskar Pelangi, yang menurut saya sangat tidak pas. Ia terlalu tinggi jika dibandingkan dengan Ical yang dimainkan Lukman Sardi. Btw, saya bukannya tidak menyukai Ario Bayu, ia aktor yang hebat, saya cuma bosan jika para sutradara-sutradara keren itu nampak tak punya stok pemain dan mengandalkan nama yang itu-itu saja. Yea I see, untuk memikat penonton bukan? Huh.


Sebagai penikmat film, saya mengharapkan aktor-aktor baru, atau yang cukup menyegarkan untuk memerankan suami Milly, Maura, dan kekasih Cinta. Reza Rahardian, Ario Bayu, Tora Sudiro dan Lukman Sardi adalah aktor-aktor hebat dan sepantasnyalah mereka memerankan karakter-karakter penting dan menantang. Reza pernah memainkan Habibie, Ario memerankan Soekarno dan Tora sudah kuat sekali sebagai Sakti, jadi jangan pula sampai tokoh pembantu saja harus diperankan oleh nama-nama besar begitu. Biarkan penonton menyaksikan aktor-aktor baru yang menyegarkan, meskipun secara akting mungkin belum sebagus para seniornya. Bukan masalah, toh mereka adalah pemeran pembantu. Tidak terlalu bagus malah terasa natural, sebaliknya kalau bagus, akan menjadi kredit bagi si sutradara yang telah jeli menemukan bakat baru.


Nampaknya beberapa hal terkait dramatisasi dan kemalasan Riri Riza itulah—dalam hal menggali cerita yang esensial dan merekrut pemain baru—yang paling mengganggu saya di film ini. Sederhananya, drama yang terlalu dipaksakan dan pemilihan cast yang kaku.


Selanjutnya saya akan masuk ke cerita. Apabila Riri Riza tidak menghancurkan hidup Karmen di dalam cerita, tidak membuat Alya mati muda dan memaksakan Milly sebagai istri Mamet dan beberapa yang lain seperti yang saya singgung di atas, maka secara cerita film ini sudah sangat pas. Saya senang dengan kisah Rangga, bahwa ia ternyata mengalami masa-masa sulit di Amerika, ayahnya meninggal, kuliahnya berantakan dan secara ekonomi ia kacau. Kau bisa melihat betapa kusut Rangga di sini, bandingkan dengan AADC Versi Line yang menampilkan Rangga dengan tubuh yang agak berisi, penampilan yang elegan dan makmur. Di AADC2 ia membuka kafe di New York dan—sesuai perkiraan—menjadi penulis, atau paling tidak pengisi kolom di majalah. Kemudian pada suatu pagi muncul seorang gadis yang ternyata adalah adik tirinya yang datang dari Jogja. Ia meminta Rangga pulang karena sang ibu sudah sakit-sakitan dan rindu sekali kepadanya. Maksudku, beginilah drama yang kita butuhkan di sini. Drama yang berkaitan langsung dengan masalah pemeran utama yang memang belum terselesaikan di film perdana. Daripada menghadirkan konflik-konflik baru yang kentara diada-adakan.


Saya suka Rangga yang kusut dan dengan potongan rambut menyedihkan begitu, yang tidak jelas apakah mau panjang atau cepak. Berasa sangat natural. Rangga bisa diasumsikan terlalu banyak pikiran hingga tak sempat mengurus penampilannya.


Selain Rangga, Cinta juga tampil wajar, tidak terlalu kinclong seperti versi Line dan penampilannya pun bisa disebut biasa saja. Hal lain yang sangat saya sukai di film ini adalah kekuatan karakternya. Mereka tampil cukup meyakinkan bagi penonton yang pernah menyimak dan menggemari AADC versi Rudi Soejarwo. Saya pikir tidak terlalu penting untuk membicarakan alur cerita setelahnya karena ia sudah dikemas dengan sangat baik. Interaksi antartokohnya benar-benar membuat penonton ingat dengan AADC perdana. Tidak ada keraguan, dan hal itu membuat penonton terbawa kenangan masa muda, ketika pertama kali menonton film itu dan berdebar-debar karenanya.


Saya sempat meragukan keinginan saya terhadap ending film ini, apakah sebaiknya ia berakhir buruk, yang mana Rangga dan Cinta tidak bisa bersatu atau malah sebaliknya. Tapi kemudian saya sepakat dengan Riri Riza untuk melihat mereka berakhir bahagia. Nampaknya hal ini murni sebagai keinginan penggemar, bukan lagi penikmat film yang objektif, haha.


Di luar cerita yang menyenangkan, mari kita membicarakan hal-hal yang detail yang menarik di sini. Pertama, saya semakin yakin kalau Dian Sastro adalah satu-satunya aktris yang bisa memerankan Cinta. Tokoh Cinta sudah sepenuhnya milik Dian Sastro, sementara saya bisa saja membayangkan ada tokoh lain yang memerankan Rangga selain Nicholas Saputra. Selanjutnya, puisi-puisi Aan Mansyur. Pada beberapa bagian, puisi-puisi itu cukup mengena dan pas sekali untuk ditayangkan tetapi pada posisi lain ia—lagi-lagi—terlalu dipaksakan. Aduh, keliatannya saya betul-betul benci pada kelebaian dalam bentuk apa pun, haha. Mungkin, jika puisi-puisi itu dikurangi antara satu-dua saja, maka ia akan terasa lebih baik. Tak perlu terlalu sok nyastra, hal itu sama menyebalkan dengan cerita yang sok berkhutbah. Maksudku, janganlah terlalu kentara kalau mau jualan buku juga. Sementara itu, saya kok suka dengan munculnya buku puisi Aan Mansyur yang tampil dua kali (seingat saya) dan tidak dengan frame yang penuh dan bagus. Ia muncul sebagian karena tertutup benda lain ataupun sekadar nampak samping. Buku puisi itu dianggap tak lebih dari properti biasa. Kupikir begitulah cara jualan yang elegan, masukkan ia sebagai bagian dari film, bukan membuatnya muncul (dengan kentara) di sela-sela film. Selain puisi-puisi Aan Mansyur, hal lain yang dijual di film ini adalah lagu-lagu Melly Goeslow, yang sayangnya tidak menyenangkan disimak. Entahlah, Melly yang dulu dan sekarang sepertinya tidak lagi sama. Kualitas lagu-lagu Melly mestinya mendewasa seperti halnya tokoh di dalam film yang sudah dewasa. Lagu-lagu Melly tidak terkesan ke sana, malah makin kekanak-kanakan. Mau bagaimana lagi, Melly sudah terjebak dengan musik komersial untuk BBB dan film-film remaja lainnya.


Terakhir, dan ini yang paling membikin masalah, kenapa adegan ciuman Rangga dan Cinta ketika di villa dan di New York dipotong?
Oumaigosh... Emangnya kau pikir ini film kartun anak-anak sehingga perlu disensor. Aish! Plis, uploader!!!


NB: Saya sudah nonton Warkop DKI Reborn, cuma saya sedang malas menulis reviewnya XD



Rating: 8/10

Entri Populer