Jadi, akhirnya saya bisa juga
menonton AADC2, dan saya pun merasa bodoh karena selama ini sudah termakan
omongan orang-orang di forum perfilman di medsos yang mengatakan kalau film Indonesia
sudah sulit (atau malah nyaris mustahil) ditemukan di internet. Itu kepercayaan
yang sungguh bodoh selayaknya mempercayai bahwa kiamat akan tiba sebulan lagi
hanya karena alasan-alasan sepele. Semalam saya iseng membuka Cinema Indo
melalui google dan tak lama kemudian menemukan situs yang salah satu panelnya
menyediakan film Indonesia. Tentu saja saya menyambut penemuan ini dengan riang
gembira selayaknya penambang yang menemukan harta karun, dan tentu saja saya
tidak lupa sekalian mengunduh Warkop DKI Reborn.
Sebelum menyampaikan hasil
penontonan ini, saya ingin berbagi celoteh banyak orang yang telah lebih dulu
menonton film ini. Kebanyakan mereka kecewa. Tidak sebagus ekspektasi, begitu
kira-kira. Saya sempat percaya dengan pendapat tersebut, mengingat sutradara
kali ini bukanlah Rudi Soejarwo melainkan Riri Riza. Dengan sutradara yang
berbeda, maka besar kemungkinan “rasa” film ini yang sudah sangat kuat dan
melekat dibenak pemuja AADC tidak akan terasa sama.
Tapi, bisa saja menjadi ebih baik?
Nope.
Tidak mungkin, film ini sudah jadi,
selayaknya rasa empek-empek Palembang yang tidak akan bisa lebih baik dari yang
asli. Jika ada orang luar Palembang yang ingin membuatnya, maka ia harus
mengikuti resep yang sudah ada. Mereka bisa saja menambah ini-itu sesuai
selera, tetapi ia tidak akan senikmat yang asli. Selanjutnya, saya bukan
penggemar film-film Riri Riza, terakhir yang saya tonton adalah Laskar Pelangi
dan sampai sekarang saya tidak berniat menontonnya lagi.
Balik ke pendapat banyak orang itu,
nampaknya saya harus bersetuju pada beberapa hal. Harus saya akui bahwa ada
beberapa hal yang tidak mengesankan pada film ini dan ia berkaitan erat dengan
cerita. Setelah sembilan tahun, adalah wajar jika banyak hal yang terjadi,
namun sayangnya cerita-cerita yang terlewat itu terlalu dipaksakan untuk
kepentingan drama. Yang dipaksakan itu antara lain adalah meninggalnya Alya
karena kecelakaan, kemudian bahwa Milly menikah dengan Mamet dan Karmen yang
ditinggal suaminya dan menjadi pemakai. Saya tahu hal semacam itu dibutuhkan
untuk membuat jalan cerita menjadi menarik, tapi bagi penonton yang berselera,
sungguh hal itu terlalu kentara sebagai upaya menghadir-hadirkan drama. Seperti
para pembuat film yang takut jika filmnya terasa lompong karena tidak padat
konflik. Begini, bila sesuatu itu ingin didramatisasi, maka jangan pernah
berlebihan. Bila tidak mampu memenuhi syarat itu, maka biarkanlah ia terasa
sewajar mungkin. Bukankah hidup memang begitu, biasa-biasa saja dan apa adanya.
Hanya sedikit keajaiban yang terjadi selayaknya mereka yang tragis hidupnya.
Hanya di sinetron kau akan menemukan pemeran utama lelaki yang tiba-tiba muncul
entah darimana untuk menyelamatkan pemeran utama perempuan dari tindakan cabul.
Saya menganggap film AADC sebagai salah satu yang terbaik di Indonesia dan saya
menyukainya secara pribadi, karena itu saya peduli sekali supaya ia tidak jatuh
menjadi murahan.
Selanjutnya, yang tak kalah garing,
adalah kemunculan Cristian Sugiono sebagai suami Maura. Dammit Riri Riza, kau
mau bikin film apa mau sekadar seru-seruan ngumpulin suami-istri ke dalam
proyekmu! Keputusan yang norak betul. Kemudian ada Ario Bayu, aktor jangkung
berkulit gelap ini adalah yang paling rajin menjadi pemeran pembantu dalam
film. Pertama kali saya melihatnya sebagai pemeran pembantu ketika ia menjadi
Lintang dewasa di Laskar Pelangi, yang menurut saya sangat tidak pas. Ia
terlalu tinggi jika dibandingkan dengan Ical yang dimainkan Lukman Sardi. Btw,
saya bukannya tidak menyukai Ario Bayu, ia aktor yang hebat, saya cuma bosan
jika para sutradara-sutradara keren itu nampak tak punya stok pemain dan
mengandalkan nama yang itu-itu saja. Yea I see, untuk memikat penonton bukan?
Huh.
Sebagai penikmat film, saya
mengharapkan aktor-aktor baru, atau yang cukup menyegarkan untuk memerankan
suami Milly, Maura, dan kekasih Cinta. Reza Rahardian, Ario Bayu, Tora Sudiro
dan Lukman Sardi adalah aktor-aktor hebat dan sepantasnyalah mereka memerankan
karakter-karakter penting dan menantang. Reza pernah memainkan Habibie, Ario
memerankan Soekarno dan Tora sudah kuat sekali sebagai Sakti, jadi jangan pula
sampai tokoh pembantu saja harus diperankan oleh nama-nama besar begitu.
Biarkan penonton menyaksikan aktor-aktor baru yang menyegarkan, meskipun secara
akting mungkin belum sebagus para seniornya. Bukan masalah, toh mereka adalah
pemeran pembantu. Tidak terlalu bagus malah terasa natural, sebaliknya kalau
bagus, akan menjadi kredit bagi si sutradara yang telah jeli menemukan bakat
baru.
Nampaknya beberapa hal terkait dramatisasi
dan kemalasan Riri Riza itulah—dalam hal menggali cerita yang esensial dan
merekrut pemain baru—yang paling mengganggu saya di film ini. Sederhananya,
drama yang terlalu dipaksakan dan pemilihan cast yang kaku.
Selanjutnya saya akan masuk ke
cerita. Apabila Riri Riza tidak menghancurkan hidup Karmen di dalam cerita,
tidak membuat Alya mati muda dan memaksakan Milly sebagai istri Mamet dan
beberapa yang lain seperti yang saya singgung di atas, maka secara cerita film
ini sudah sangat pas. Saya senang dengan kisah Rangga, bahwa ia ternyata
mengalami masa-masa sulit di Amerika, ayahnya meninggal, kuliahnya berantakan
dan secara ekonomi ia kacau. Kau bisa melihat betapa kusut Rangga di sini,
bandingkan dengan AADC Versi Line yang menampilkan Rangga dengan tubuh yang
agak berisi, penampilan yang elegan dan makmur. Di AADC2 ia membuka kafe di New
York dan—sesuai perkiraan—menjadi penulis, atau paling tidak pengisi kolom di
majalah. Kemudian pada suatu pagi muncul seorang gadis yang ternyata adalah adik
tirinya yang datang dari Jogja. Ia meminta Rangga pulang karena sang ibu sudah
sakit-sakitan dan rindu sekali kepadanya. Maksudku, beginilah drama yang kita
butuhkan di sini. Drama yang berkaitan langsung dengan masalah pemeran utama
yang memang belum terselesaikan di film perdana. Daripada menghadirkan
konflik-konflik baru yang kentara diada-adakan.
Saya suka Rangga yang kusut dan
dengan potongan rambut menyedihkan begitu, yang tidak jelas apakah mau panjang
atau cepak. Berasa sangat natural. Rangga bisa diasumsikan terlalu banyak
pikiran hingga tak sempat mengurus penampilannya.
Selain Rangga, Cinta juga tampil
wajar, tidak terlalu kinclong seperti versi Line dan penampilannya pun bisa
disebut biasa saja. Hal lain yang sangat saya sukai di film ini adalah kekuatan
karakternya. Mereka tampil cukup meyakinkan bagi penonton yang pernah menyimak
dan menggemari AADC versi Rudi Soejarwo. Saya pikir tidak terlalu penting untuk
membicarakan alur cerita setelahnya karena ia sudah dikemas dengan sangat baik.
Interaksi antartokohnya benar-benar membuat penonton ingat dengan AADC perdana.
Tidak ada keraguan, dan hal itu membuat penonton terbawa kenangan masa muda,
ketika pertama kali menonton film itu dan berdebar-debar karenanya.
Saya sempat meragukan keinginan saya
terhadap ending film ini, apakah sebaiknya ia berakhir buruk, yang mana Rangga
dan Cinta tidak bisa bersatu atau malah sebaliknya. Tapi kemudian saya sepakat
dengan Riri Riza untuk melihat mereka berakhir bahagia. Nampaknya hal ini murni
sebagai keinginan penggemar, bukan lagi penikmat film yang objektif, haha.
Di luar cerita yang menyenangkan,
mari kita membicarakan hal-hal yang detail yang menarik di sini. Pertama, saya
semakin yakin kalau Dian Sastro adalah satu-satunya aktris yang bisa memerankan
Cinta. Tokoh Cinta sudah sepenuhnya milik Dian Sastro, sementara saya bisa saja
membayangkan ada tokoh lain yang memerankan Rangga selain Nicholas Saputra.
Selanjutnya, puisi-puisi Aan Mansyur. Pada beberapa bagian, puisi-puisi itu
cukup mengena dan pas sekali untuk ditayangkan tetapi pada posisi lain
ia—lagi-lagi—terlalu dipaksakan. Aduh, keliatannya saya betul-betul benci pada
kelebaian dalam bentuk apa pun, haha. Mungkin, jika puisi-puisi itu dikurangi
antara satu-dua saja, maka ia akan terasa lebih baik. Tak perlu terlalu sok
nyastra, hal itu sama menyebalkan dengan cerita yang sok berkhutbah. Maksudku,
janganlah terlalu kentara kalau mau jualan buku juga. Sementara itu, saya kok
suka dengan munculnya buku puisi Aan Mansyur yang tampil dua kali (seingat
saya) dan tidak dengan frame yang penuh dan bagus. Ia muncul sebagian karena
tertutup benda lain ataupun sekadar nampak samping. Buku puisi itu dianggap tak
lebih dari properti biasa. Kupikir begitulah cara jualan yang elegan, masukkan
ia sebagai bagian dari film, bukan membuatnya muncul (dengan kentara) di
sela-sela film. Selain puisi-puisi Aan Mansyur, hal lain yang dijual di film
ini adalah lagu-lagu Melly Goeslow, yang sayangnya tidak menyenangkan disimak.
Entahlah, Melly yang dulu dan sekarang sepertinya tidak lagi sama. Kualitas
lagu-lagu Melly mestinya mendewasa seperti halnya tokoh di dalam film yang
sudah dewasa. Lagu-lagu Melly tidak terkesan ke sana, malah makin
kekanak-kanakan. Mau bagaimana lagi, Melly sudah terjebak dengan musik komersial
untuk BBB dan film-film remaja lainnya.
Terakhir, dan ini yang paling
membikin masalah, kenapa adegan ciuman Rangga dan Cinta ketika di villa dan di
New York dipotong?
Oumaigosh... Emangnya kau pikir ini
film kartun anak-anak sehingga perlu disensor. Aish! Plis, uploader!!!
NB: Saya sudah nonton Warkop DKI
Reborn, cuma saya sedang malas menulis reviewnya XD
Rating: 8/10
No comments:
Post a Comment